Selasa, 16 Juni 2009

EKOWISATA SEBAGAI BENTUK PARIWISATA MASA DEPAN YANG BERKELANJUTAN

Oleh : Ni Made Tirtawati

Pendahuluan

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Negara-negara dan teritori seperti Thailand, Singapura, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, sudah tidak diragukan lagi. (Pitana, 2006). Menurut WTO, bahwa potensi perkembangan pariwisata dunia diprediksi akan semakin baik di masa-masa mendatang.

Selama ini pariwisata sebagai sektor unggulan di beberapa negara telah terbukti berhasil memberikan kontribusi yang signifikan. Ada banyak indikator yang dapat menunjukkan kesuksesan pariwisata ini, seperti peningkatan investasi di bidang pembangunan sarana dan fasilitas kepariwisataan, peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, serta penerimaan pemerintah dalam bentuk pajak yang telah menggerakkan perekonomian negara. Namun pariwisata bukan saja menyangkut soal ekonomi. Sebagai sektor yang multisektoral, pariwisata tidak berada dalam ruang hampa, melainkan ada dalam suatu sistem yang besar, yang komponennya saling terkait antara yang satu dengan yang lain, dengan berbagai aspeknya, termasuk aspek sosial, budaya, lingkungan, politik, keamanan, dan seterusnya.

Dampak Pembangunan Pariwisata

Selain dampak positif pada bidang ekonomi yang telah disebutkan di atas, pembangunan pariwisata juga memunculkan juga dampak-dampak negatif atau dampak-dampak yang tidak diharapkan. Dampak sosial budaya bisa berupa degradasi kesenian, konflik sosial, solidaritas sosial, konsumerisme, peniruan, kriminalitas dan sebagainya. Menurut Brunet et al (2001) bahwa dalam perkembangan industri pariwisata di seluruh dunia, permintaan akan budaya otentik dan pariwisata berbasis alam akan memunculkan dampak terhadap kebudayaan seperti yang yang terjadi di negeri Bhutan. Pembangunan pariwisata juga dapat memunculkan berbagai friksi dan konflik sosial antar wisatawan, antara penduduk lokal dengan badan pengembang pariwisata, antara wisatawan dengan penduduk lokal seperti hasil kajian Hall (1999) yang terjadi pada beberapa Taman Nasional di Inggris. Selain itu, pembangunan pariwisata juga menimbulkan dampak terabaikannya pelestarian lingkungan dan terpinggirkannya penduduk lokal. Pariwisata juga memicu terjadinya degradasi lingkungan seperti berkurangnya keragaman hayati, penggunaan sumber daya yang berlebihan, polusi dan limbah dari pembangunan infrastruktur dan fasilitas pariwisata, transportasi dan aktivitas wisatawan.(WTO, 2002).

Sejalan dengan perkembangan yang bersifat kuantitatif, terjadi pula perkembangan yang sifatnya kualitatif seperti pergeseran sifat-sifat wisatawan, perkembangan trend produk baru, diversifikasi produk dan layanan, berkembangnya minat-minat khusus dengan relung-relung pasar baru, dan sebagainya. Muncul pula berbagai inovasi produk, baik dari penciptaan produk yang jenisnya baru, maupun kombinasi antara berbagai jenis produk yang sudah ada, melalui proses adaptasi dan modifikasi. (Mahadewi, 2008). Sehingga pariwisata dikatakan sebagai industri fashion, yakni industri yang selalu berubah-ubah mengikuti selera pasar. (Witherick, 2001).

Kecenderungan saat ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaan yang lebih dalam terhadap nilai – nilai hubungan antar manusia dengan lingkungan alamnya. Perkembangan baru tersebut secara khusus ditunjukan melalui bentuk – bentuk keterlibatan wisatawan dalam kegiatan – kegiatan di luar lapangan (out door), kepedulian akan permasalahan ekologi dan kelestarian alam, kemajuan akan ilmu pengetahuan dan pendidikan, penekanan dan penghargaan akan nilai – nilai estetika, kebutuhan pengembangan diri/pribadi serta keinginan untuk berinteraksi secara mendalam dengan masyarakat.

Pariwisata Dunia : Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

Setiap masa, pariwisata mengalami perubahan istilah sesuai trend yang relevan seperti pada era tahun 1950-an sampai 1960-an, pariwisata dianggap suatu industri yang berada pada tahap ideal, bahwa dampak negatif terhadap lingkungan belum dirasakan. Berbeda dengan model pariwisata pada dekade tahun 1970-an, ditandai dengan munculnya kritik terhadap pariwisata oleh akademisi yang menilai pertumbuhan pariwisata dengan mass tourism sudah memberikan dampak negatif pada bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Tahun 1980-an, ditandai dengan munculnya pariwisata alternatif yang cenderung mengarah kepada pariwisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Perkembangan pengelolaan wisata menimbulkan banyak pemikiran, termasuk pemikiran pengembangan pariwisata berkelanjutan, yang diawali dengan pemikiran kesalahan di masa lalu dan menciptakan kesadaran untuk kondisi masa depan. Pariwisata tidak hanya berorentasi terhadap pendapatan devisa atau kesempatan peluang kerja yang besar akan tetapi dapat menghadirkan sesuatu yang baru baik bagi wisatawan, masyarakat dan terutama terhadap alam. Pariwisata akan menguntungkan dan berdaya guna apabila semua komponen mengembangkan sikap untuk menghargai lingkungan dan sosial budaya sesuai dengan konsep sustainable development yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial budaya dan lingkungan (Kuhn, 2007).

Ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dicetuskan oleh sebuah organisasi yang bernama International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN 1980) dengan World Conservation Strategi-nya. Ada beberapa definisi dari Sustainable Development yang dikemukakan oleh beberapa pakar yang ahli di bidangnya. The World Tourism Organization memberikan batasan tentang Sustainable Tourism Development yang dikutip oleh Liu (2003) sebagai berikut :

Sustainable Tourism Development meet the need of present tourists and host regions while protecting and enhancing opportunity for the future. It is envisaged as leading to management of all resources in such a way that economic, social and aesthetic need can be fulfilled while maintaining culture integrity, essential ecological process, biological diversity and life support systems.

(Pembangunan pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan wisatawan dan daerah penerima hari ini sekaligus mempertahankan dan meningkatkan peluang untuk masa depan. Semua ini dipertimbangkan sebagai pengarah untuk mengelola semua sumber-sumber sedemikian rupa agar kebutuhan ekonomi, social, budaya, dan nilai estetika terpenuhi sembari mempertahankan integritas budaya, proses ekologi pokok, keanekaragaman biologi dan sistem pendukung hidup).

Berdasarkan definisi yang telah ditetapkan oleh WTO tersebut, terdapat beberapa aspek yang terkandung di dalam pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, yaitu :

  1. Keberlanjutan dalam bidang ekonomi, memberikan keuntungan bukan hanya untuk saat ini tetapi juga untuk jangka panjang.

- Membentuk kemitraan pada semua rantai pemasok mulai dari bisnis skala mikro hingga lembaga multinasional

- Menggunakan pedoman yang diakui ditingkat internasional dan pedoman pelatihan yang telah disertifikasi.

- Mempromosikan kode etik dan perilaku yang berwawasan lingkungan pada para pengunjung.

- Diversifikasi produk dengan mengembangkan kegiatan wisata yang bervariasi.

- Mengkontribusikan sebagian keuntungan untuk membantu pelatihan, pengembangan produk dan pemasaran yang berwawasan lingkungan.

- Menyediakan intensif ekonomi untuk bisnis skala kecil dalam menerapkan prinsip berkelanjutan.

  1. Keberlanjutan secara ecological ; pengembangan yang sesuai dengan pemeliharaan inti dari proses ekologi, keanekaragaman hayati dan sumber daya biologi.

- Panduan implementasi harus dikembangkan pada semua tingkatan.

- Panduan tentang prosedur standar oprasi, kajian dampak, dan monitoring harus dikembangkan.

- Mempormulasikan kebijakan dan strategi pengembangan yang sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional, dan regional.

- Memastikan bahwa desain, perencanaan dan oprasi dari fasilitas sesuai dengan prinsip berkelanjutan.

- Memastikan pariwisata di kawasan konservasi harus sejalan dengan perencanaan pengelolaan konservasi.

- Memonitor dan melakukan riset untuk dampak dari kegiatan pariwisata.

- Mempromosikan pariwisata bertanggung jawab.

  1. Meningkatkan kontrol masyarakat terhadap perubahan nilai – nilai budaya dan memperkuat identitas masyarakat.

- Pariwisata harus didasarkan dari hasil konsultasi fengan masyarakat.

- Perlu mengembangkan pendidikan dan program pelatihan untuk memperbaiki dan mengelola peninggalan sejarah dan sumber daya alam.

- Melestarikan keanekaragaman budaya.

- Menghormati hak – hak masyarakat adapt.

- Menjamin pelestarian sumber daya alam dan pengetahuan tradisional masyarakat lokal.

- Memberi pengetahuan pada wisatawan tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh wisatawan.

- Meningkatkan pengetahuan pada industri pariwisata tentang tatacara dan perilaku yang dapat dan tidak dapat ditengah masyarakat.

  1. Mendesain keuntungan untuk masyarakat lokal dan meningkatkan pendapatan pada masyarakat sekitar.

- Masyarakat lokal harus berpartisipasi dalam memonitor segala sesuatu perubahan yang disebabkan oleh pengembangan dan kegiatan pariwisata.

- Pariwisata harus menyediakan lapangan kerja yang seimbang untuk masyarakat sekitar.

- Memastikan pihak swasta untuk meminimalisasi dampak negatif pada masyarakat lokal.

- Memastikan distribusi keuntungan yang seimbang diantara rantai pemasok.

- Menyediakan insentif keuangan pada bisnis skala keciluntuk berpartisipasi dalam bisnis pariwisata.

- Meningkatkan kemampuan sumber daya manusia lokal.

Ekowisata Sebagai Sebuah Konsep Pariwisata Berkelanjutan

Dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan, aspek peningkatan kehidupan komunitas secara kualitas lebih didahulukan dibanding aspek ekonomi. Salah satu bagian pembangunan pariwisata berkelanjutan yang giat dikembangkan adalah ekowisata (ecotourism). Mengapa dimulai saat in? Dari sisi permintaan, saat ini sedang muncul trend wisata minat khusus sebagai kebalikan dari wisata massal. Wisatawan tidak menyukai lagi bentuk perjalanan dalam kelompok besar, tinggal di hotel mewah, tetapi orang-orang ingin mencari pengalaman baru dari dan belajar tentang lingkungan di daerah tujuan wisata, menikmati kebudayaan lokal dan menjalin kontak yang lebih dekat dengan masyarakat setempat. Kondisi ini dikuatkan oleh pendapat Fennel yang dikutip oleh Garrod dan Wilson (dalam Diarta, 2007), bahwa ekowisata diakui sebagai salah satu jenis pariwisata yang mampu menarik high spending tourist dan diperkirakan telah menjadi bisnis dengan perputaran uang US $ 10 sampai US $ 17.5 milyar dollar.

Istilah ekowisata baru muncul dan mulai banyak diperbincangkan oleh para pelaku wisata berdasarkan refleksi kegiatan perjalanan masa lalu, seperti Darwin ke Galapagos, Humbolt, Bates, Wallace. Perjalanan Marcopolo, Tomi Pires, Weber, Junghuhn dan Van Steenis yang bersifat antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan untuk mempelajari kondisi alam secara makro, akan tetapi perjalanan tersebut masih saja dikategorikan sebagai adventure tourism serta umum dilakukan oleh peneliti dan para petualang lainnya, sehingga sama dengan istilah lainnya seperti nature based tourism, cultural tourism, back to nature tourism, tanpa adanya nilai-nilai konservasi , penghargaan kepada alam, spesies langka.( Chafid, 1994)

Perkembangan berikutnya, ketika nilai konservasi dan wisata back to nature mulai dijadikan sebagai ajang pendidikan dan penyadaran bagi para wisatawan tentang pentingnya lingkungan hidup, dan dimulainya penghargaan terhadap konsep-konsep preservasi, konservasi pada lingkungan dan budaya lokal.

Berbicara masalah definisi, Menurut The International Ecotourism Society (dalam Avenzora, 2007), ekowisata didefinisikan sebagai :

“ Suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan menkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat , memperlihatkan kesatuan konsep yang terintegratif secara konseptual tentang keseimbangan antara menikmati keindahan alam, sosial budaya dan lingkungannya dan upaya mempertahankannya, sehingga pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya ) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.”

Menurut Witherick (1999) dalam tulisannya yang berjudul Can Ecotourism Work mendefinisikan pengertian ecotourism sebagai :

Ecotourism is a sustainable form of natural resource based tourism that focuses primarily on experiencing and learning about nature, and which is ethically managed to be low impact, non consumptive and locally oriented (control, benefit and scale). It typically occurs in natural areas, and should contribute to the conservation and preservation of such areas

Secara umum dinyatakan bahwa ekowisata yang bersumbu pada wisata alternatif dengan konsep natural merupakan suatu hal yang bertolak belakang dengan konsep pada pariwisata massal, akan tetapi pada artikel yang ditulis oleh David Bruce Weaver tersebut mempunyai pendapat yang berseberangan.

Secara umum ekowisata memiliki 3 ciri yaitu;

1. ekowisata memfokuskan pada atraksi wisata dengan wawasan lingkungan alami.

2. Produk dari ekowisata tersebut merupakan kombinasi dari Ecotourists dan lingkungan alami dengan konsep alami termasuk juga kegiatan adventure.

3. Ekowisata haruslah berkesinambungan.

Akan tetapi pada pelaksanaanya kondisi tersebut tidaklah bisa diberikan batasan yang jelas, sehingga diberikan penggolongan dengan range dari ekowisata ketat (hard ecotourism ) yang benar – benar menjaga kelestarian alam sampai pada ecotourism yang sangat fleksibel dimana penekanan utama pada kepuasan wisatawan dengan sedikit mengabaikan alaminya lingkungan.

Weaver (2001), menunjukkan hubungan yang saling menguntungkan antara ekowisata, wisata massal dan kawasan lindung untuk menguatkan bahwa wisata massal tidak bertentangan dengan ekowisata, seperti dijelaskan di bawah ini :

  1. Bahwa terdapat hubungan yang menguntungkan antara wisata massal terhadap ekowisata, apabila :
    1. wisata massal mampu menyumbangkan wisatawan dalam jumlah besar
    2. membawa manfaat ekonomi yang dapat digunakan untuk penerapan pariwisata berkelanjutan
    3. mampu memberikan kontribusi bagi competitor yang memanfaatkan sumber daya alam yang cenderung merusak.
  2. Bahwa terdapat hubungan yang menguntungkan antara ekowisata terhadap wisata massal, apabila :
    1. memberikan kontribusi pada diversifikasi dari produk wisata massal
    2. aktif dalam meningkatkan pasar wisata masal yang berlabel ”green tourism”.
    3. lebih jauh mengekspos prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

Jika dilihat dari definisinya, ekowisata dinyatakan sebagai perjalanan yang bertanggung jawab secara ekologis, mengunjungi wilayah yang masih asli, untuk menikmati dan menghargai keindahan alam (termasuk kebudayaan lokal) dan mepromosikan konservasi, memiliki efek negatif paling minimum dan menyediakan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata. Tentu saja bahwa tidak setiap daerah yang dikembangkan sebagai obyek wisata lokal dapat dijadikan sebagai wisata massal. Hal ini disebabkan oleh adanya keterbatasan dari daya dukung lingkungan, ada pembatasan daerah yang perlu dikunjungi dan memiliki tiplogi tidak cocok dikembangkan untuk wisata masal. Seperti contoh : wisata taman laut, yang sangat sensitif dan riskan dalam daya dukungnya.

Pengelolaan Ekowisata

Sampai saat ini konsep ekowisata masih diterapkan di sebagian kecil daerah tujuan wisata di dunia, namun potensi yang dimiliki oleh daerah tujuan wisata sangat besar. Contoh-contoh studi kasus yang disampaikan oleh Witherick (2001), seperti proyek AWNC (Asia Wright Nature Center) di Lembah Arima, ekowisata di Himalaya, dan Antartika dapat dijadikan contoh keberhasilan ekowisata, dan masih diperlukan lebih banyak lagi proyek-proyek semacam ini dikembangkan di seluruh dunia.

Belajar dari studi kasus pengembangan ekowisata oleh AWNC, dapat dicermati banyak sekali manfaat dan kesuksesan yang diperoleh seperti adanya keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan wisata, meningkatnya dana untuk proyek pendidikan perlindungan dan pelestarian hutan, dan AWNC telah memenuhi kriteria dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan, dengan adanya perbaikan kualitas hidup masyarakat lokal dan perlindungan akan kualitas lingkungan.

Akan tetapi, dalam pengelolaan ecotourism perlu menyelenggarakan pengelolaan pengunjung (visitor management) yang tepat untuk mengantisipasi peningkatan jumlah pengunjung sesuai dengan carrying capacity dari kawasan tersebut untuk menghindari dari kerusakan lingkungan.

Hal ini juga dialami oleh negara Bhutan yang mengembangkan ekowisata berdasar pada warisan budaya Budha, yang baru dibuka pada tahun 1974. Negara Bhutan sangat mengontrol dan memonitor pengaruh pariwisata dengan menekankan pada konservasi lingkungan, keanekaragaman hayati dan warisan budaya yang dimiliki. Negara Bhutan tetap memperhatikan perencanaan dalam hal jumlah pengunjung, pembangunan fasilitas wisata dan pengorganisasian pada saat tour ke tujuan wisata, diarahkan untuk mewujudkan hasil maksimal dengan dampak minimal (maximum yield for minimum impact atau high yield but low impact) serta menyeimbangkan pemanfaatan lingkungan dan budaya sebagai daya tarik wisata dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan budaya tersebut agar berkelanjutan.

Pengelolaan pengunjung yang sangat ketat juga perlu diterapkan untuk kawasan-kawasan yang sangat sensitif terhadap kerusakan. Dalam pengembangan ekowisata tipologi ini, dapat dicermati dari studi kasus ekowisata Antartika. Bahwa untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan perlu dibuatkan aturan yang jelas apa yang boleh dilakukan dan tidak di wilayah kawasan tersebut, wilayah mana yang boleh dimasuki dan mana yang tidak. Selain itu juga Keberlanjutan dan kelestarian sebuah kawasan ekowisata tergantung bagaimana membangkitkan pemahaman dan kepedulian semua pemangku kepentingan terhadap pentingnya kontribusi, eksistensi, dan perlindngan terhadap sumberdaya pendukung pariwisata. Pemahaman dan kepedulian ini hanya bisa dicapai melalui proses penanaman tata nilai (value) dan norma (norm) melalui proses pendidikan dan pembelajaran pada masyarakat.

Pengelolaan ekowisata untuk program wisata berkelanjutan, yang paling utama perlu diperhatikan adalah kesadaran masing – masing komponen yang terkait dalam ekowisata tersebut, mulai dari wisatawannya, tour operatornya, pengelola kawasan wisata tersebut, termasuk masyarakat sekitar. Yang tidak kalah penting adalah pemerintah agar mempunyai kesadaran, pengetahuan dan pemahaman tentang ekowisata berkelanjutan.

Pariwisata akan berkembang, kadang-kadang sangat cepat, seperti saat ini baru sepersepuluh penduduk dunia berwisata. Tugas kita adalah tidak untuk membatasii meningkatnya wisatawan tapi bagaimana mengelola keberadaan wisatawan, lingkungan daerah tujuan wisata dan masyarakat penerima wisatawan. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ekowisata sebagai bentuk pariwisata masa depan akan dapat berjalan, walaupun akan banyak masalah yang timbul, untuk mewujudkan keberlanjutan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi di daerah tujuan wisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar