Kamis, 07 Mei 2009

PARIWISATA DAN PEMANASAN GLOBAL

A. PENDAHULUAN

Pariwisata telah menjadi salah satu industri terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama dalam menghasilkan devisa di berbagai negara. Negara-negara dan teritori seperti Thailand, Singapura, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Pentingnya peranan pariwisata dalam pembangunan ekonomi di berbagai negara, sudah tidak diragukan lagi. Menurut WTO, bahwa potensi perkembangan pariwisata dunia diprediksi akan semakin baik di masa-masa mendatang (Pitana, 2006).

Tidak dapat dipungkiri berjalannya industri pariwisata sangat bergantung pada sumber daya yang tersedia. Sumber daya yang terkait dengan pengembangan pariwisata umumnya berupa sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia. Menurut Damanik dan Weber (2006), sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata alam misalnya keindahan alam, keragaman flora, keragaman fauna, kehidupan satwa liar, vegetasi alam, rekreasi perairan, lintas alam, objek megalitik, iklim dan suhu udara yang nyaman, curah hujan yang normal, dan sebagainya. Hal senada juga dijelaskankan oleh Fennel (1999) dalam (Pitana, 2008) bahwa sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sumber daya pariwisata di antaranya sebagai berikut : lokasi geografis, iklim dan cuaca, topografi dan landforms, surface material, air, vegetasi, dan flora fauna.

Iklim yang nyaman dan daya tarik alam yang indah merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi daya tarik wisata suatu daerah tujuan wisata. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Hu dan Ritchie (1993) dalam Hamilton & dkk (2007), mereka mereview beberapa studi dari tahun 1970 dan menemukan bahwa “natural beauty and climate” were of universal importance in defining destinations attractiveness. Dalam Deklarasi Davos (2007) tentang Climate Change and Tourism : Responding To Global Challenges juga disetujui bahwa “climate is a key resource for tourism”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pariwisata merupakan sektor yang memiliki hubungan yang dekat sekali dengan lingkungan dan iklim.

Dalam kenyataannya, pariwisata sangat peka sekali terhadap iklim, sama seperti bidang pertanian, perikanan, energi dan transportasi. Dalam dekade terakhir, isu lingkungan yang paling disebut-sebut sebagai ancaman terbesar yang dihadapi oleh umat manusia adalah pemanasan global. Tentu saja ancaman ini akan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan yang tidak terlepas dari dinamika yang terjadi baik dari sisi permintaan (demand side) maupun dari sisi pasokan (supply side) masing-masing negara atau daerah tujuan wisata.

Dalam kaitannya dengan isu pemanasan global, di satu pihak pemanasan global memberikan dampak pada sektor pariwisata, tetapi di pihak lain juga posisi sebaliknya, bahwa sektor pariwisata memberikan andil dalam pemanasan global dunia. Tulisan ini akan mencoba membahas tentang pemanasan global, dampak pemanasan global terhadap pariwisata serta respon dan kebijakan yang dapat dilakukan oleh industri pariwisata dalam mengantisipasi perubahan iklim global dengan mengambil studi kasus Bali sebagai daerah tujuan wisata.

B. PEMANASAN GLOBAL

Isu global yang makin marak dibicarakan oleh masyarakat internasional adalah pemanasan global. Pemanasan global saat ini bukan lagi perbincangan para ilmuwan, tetapi sudah mulai terasa bahkan telah menjadi momok yang menakutkan bagi warga bumi. Kita dapat melihat bukti beberapa kejadian alam di berbagai belahan bumi seperti naiknya permukaan air laut di Kepulauan Tuvalu, siklon dan hujan deras yang menghantam Madagaskar, bandai Katrina yang menghantam Louisiana, Mississipi dan Alabama pada tahun 2005. (Rusbiantoro, 2008). Gejala alam tersebut mulai diteliti secara aktif mulai dekade tahun 1980-an dan hasilnya sangat mengejutkan para ahli lingkungan hidup akan dampak yang ditimbulkan oleh pemanasan global di kemudian hari.

Menurut sumber dari Wikipedia, pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Rata-rata temperatur permukaan bumi sekitar 15o Celcius (59o F). Menurut temuan Intergorvernmental Panel on Climate Change (IPCC, atau Dewan Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim) yang disponsori oleh PBB, pada tahun 2005 temperatur udara global telah meningkat 0,6o C (1o F) sejak tahun 1861. Panel memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 C (2 hingga 11,5 F) antara tahun 1990 dan 2100.

Pemanasan bumi sebenarnya hal yang biasa, sejarah planet kita terus menghangat dan mendingin berkali-kali selama 4,65 milyar tahun. Bumi memiliki lapisan atmosfer yang melindunginya dari dampak radiasi sinar matahari. Setiap hari, panas matahari masuk ke bumi menembus lapisan atmosfir, berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap bumi, dan sisanya dipantulkan lagi ke angkasa sebagai gelombang panjang.

C. EFEK RUMAH KACA

Pada lapisan atmosfer bumi tersebut, terdapat selimut gas yang biasa dikenal dengan Gas Rumah Kaca (GRK). Gas Rumah Kaca ini yang berfungsi menahan panas matahari agar tidak dilepas kembali seluruhnya ke angkasa, sehingga suhu permukaan bumi tetap hangat. Sewaktu energi matahari sampai ke bumi, sekitar 70 persennya diserap, dan memanaskan udara, daratan dan lautan. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari yang cukup. Orang yang pertama kali menyingkap efek rumah kaca adalah Jean Baptise Joseph Fourier sebagai ahli fisika dan matematika dari Perancis. Penemuan Fourier ini diteruskan oleh seorang fisikawan Swedia yang bernama Svante Arrhenius pada tahun 1894.

Planet Bumi pada dasarnya membutuhkan gas-gas tersebut untuk menjaga kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca , bumi akan menjadi terlalu dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas bumi. Menurut jurnal Sedarlah, seandainya tidak ada mekanisme ini, suhu permukaan bumi bisa sekitar minus 18 derajat Celcius. Sebagai perbandingan, planet Mars yang memiliki lapisan atmosfer tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur -32o Celcius. Selama bumi masih dalam temperatur yang nyaman bagi hewan, tumbuhan dan manusia untuk bertahan hidup, pemanasan bumi adalah hal yang baik.

Namun hal tersebut akan menjadi masalah, jika terjadi peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca yang melebihi dari batas normal. Panas bumi akan terperangkap dan tidak bisa lagi dipantulkan ke angkasa, akumulasi radiasi matahari di atmosfer bumi ini menyebabkan suhu bumi menjadi semakin menghangat, dan kondisi abnormal tersebut sudah mulai terjadi. Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendidngin ruangan (CFC). Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makain memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer.

Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang paling terkenal karena jumlahnya yang paling melimpah dan menyerap gelombang panjang. Penyerapan inilah yang menyebabakan pemanasan dan air akan menguap. Menurut laporan IPCC, emisi GRK telah meningkat sebesar 70% antara tahun 1970 hingga 2004. Penyebab dari peningkatan yang cukup drastis ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi (yang diolah menjadi bensin, minyak tanah, avtur, pelumas, oli) dan gas alam lainnya, yang tidak dapat diperbaharui). Pembakaran dari bahan bakar fosil ini melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas matahari yang dipancarkan ke bumi.

Menurut Ir. Rachmat Witoelar, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia seperti yang dilansir dalam suarapublik.org, bahwa kondisi lingkngan global yang kian memburuk dipicu pleh pembangunan di berbagai negara di dunia yang kurang berwawasan lingkungan. Menurut Ashadi (2006), penghasil terbesar dari pemanasan global ini adalah negara–negara industri seperti Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada, Jepang, China dan lain-lain yang berada di belahan bumi utara. Pemanasan global ini dapat terjadi karena pola konsumsi dan gaya hidup masyarakat negara-negara utara yang 10 kali lipat lebih tinggi dari penduduk negara selatan yang kebanyakan adalah negara berkembang. Negara-negara berkembang juga ikut menghasilkan karbondioksida dengan meningkatnya industri-industri, perusahaan tambang dan dari sektor penyediaan energi. Serta terjadinya kerusakan hutan di beberapa negara berkembang juga ikut mempunyai andil dalam pemanasan global.

Selain peningkatan efek rumah kaca, efek-efek dari agen penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang merupakan proses yang alami dari alam. Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Walaupun umpan balik ini meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak menurun karena udara menghangat. Terdapat hipotesa lain yang menyatakan bahwa variasi dari matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan balik dari awan, dapat mmberikan kontribusi dalam pemanasan saat ini. Akan tetapi, IPCC menyimpulkan bahwa sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan abad ke -20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.

C. DAMPAK PEMANASAN GLOBAL

Para ilmuwan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk mempelajari pemanasan global. Pemanasan global telah berdampak pada perubahan iklim, peningkatan air laut, pertanian dan persediaan makanan, ekosistem dan kesehatan manusia.

(1). Perubahan iklim dan cuaca

Pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan iklim dan cuaca bumi. Musim kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan dan meningkatnya potensi kebakaran hutan. Musim hujan akan berlangsung cepat dengan itensitas curah hujan yang tinggi sehingga mengakibatkan banjir dan tanah longsor. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat. Tahun-tahun belakangan ini sering dilanda badai-badai yang menggangu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik laut maupun udara

(2). Mencairnya es di kutub utara dan selatan

Pemanasan global berdampak langsung pada terus mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan. Mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih cepat dari model-model prediksi yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan. Pada tanggal 6 Maret 2008, telah terjadi sebuah fenomena alam, yaitu sebuah bongkahan es seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya) di Antártika runtuh. Pegunungan yang berada di subtropis seperti Alpen, Himalaya, Chacaltaya di Bolivia, atau Kilimanjaro, sebagian besar pegunungan yang ditutupi salju akan semakin sedikit dan lapisan saljunya akan lebih cepat mencair. Mencairnya gletser-gletser dunia akan mengancam ketersedian air bersih dunia.

(3). Kenaikan permukaan air laut

Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan laut juga akan menghangat, sehingga volumenya akan membesar dan menaikkan tinggi permukaan air laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub, terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air laut. Tinggi muka air laut di seluruh dunia telah meningkat 10 – 25 cm( 4 – 10 inchi) selama abad ke-20. Perubahan tinggi muka air laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pesisir, ekosistem pantai, terjadinya erosi dari tebing dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai, banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan dan akan menyebabkan tenggelamnya daerah pesisir dan pulau-pulau kecil.

(4). Pertanian dan Pesediaan Makanan

Adanya perubahan iklim, para petani sudah tidak dapat meramalkan kapan musim hujan atau musim kemarau tiba, sehingga sangat sulit untuk mengetahui masa tanam. Yang menjadi masalah lagi jika persediaan air semakin menipis dan tidak bisa mengaliri irigasi, tanah semakin mengering, dan air semakin cepat menguap. Umat manusia akan mengalami krisis pangan dan kelaparan semakin meluas akibat tingginya potensi gagal panen.

(5). Ekosistem

Dampak paling parah dari pemanasan global adalah hilangnya 20-30% spesies flora dan fauna karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan suhu bumi, seperti : berkurangnya jumlah penguin Adelie dan beruang kutub di Antártika. Menurut laporan World Wide Fund yang berjudul Bird Spesies and Climate Change menunjukkan saat ini beberapa spesies burung juga menghadapi dampak buruk dari perubahan iklim ini dan terancam punah. Secara keseluruhan, semua burung di hutan tropis, lahan basah, kepulauan, Antártika, Arktik, gunung, dan burung migran atau burung laut sangat rentan terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim juga akan berdampak buruk pada ekosistem di lautan. Jika air laut semakin memanas, maka akan terjadi peningkatan asam laut, dan terumbu karang adalah yang paling rentan menghadapi peningkatan keasaman ini.

(6). Kesehatan

Menurut Dr. Budi Sucita dalam seminar bertajuk “Dampak dan Solusi Global Warming”, pemanasan global berdampak pada kesehatan manusia secara umum. (Bali Post, 2008). Ini dipicu oleh adanya pergeseran ekosistem dan terjadinya degradasi lingkungan. Menurutnya, dengan adanya gelombang panas yang berlebihan membuat bumi menjadi hangat dan lembab. Kondisi ini sangat mendukung kehidupan dari bakteri dan virus penyebab penyakit, seperti malaria, demam berdarah, diare dan penyakit saluran pernafasan atas. Selain itu dengan terjadinya pemanasan global memicu bencana alam seperti banjir dan angin topan secara tidak langsung bencana ini membuat hasil pangan rusak dan berimbas kepada kemiskinan dan kekurangan gizi.

D. DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP SEKTOR PARIWISATA

Banyak aspek dalam kehidupan manusia dipengaruhi oleh cuaca dan iklim, mulai dari bidang pertanian, perikanan, pelayaran, transportasi, penyediaan energi, kehutanan dan pariwisata. Lingkungan alam dan kondisi iklim merupakan sesuatu yang sangat penting bagi suatu daerah sebagai daerah tujuan wisata. Seperti yang kita ketahui bahwa berwisata telah menjadi bagian yang penting dalam hidup manusia di abad ke- 20. Pariwisata International merupakan industri jasa yang tercepat pertumbuhannya, akan tetapi apakah ini akan berlangsung sukses terus karena pariwisata berkaitan dengan keberlanjutan sumber daya lingkungan.

Sektor pariwisata pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. Penelitian-penelitian tentang dampak perubahan iklim terhadap pariwisata telah banyak dilakukan oleh para peneliti di masing-masing negara. Menurut Hamilton & dkk (2007), penelitian yang bersifat kualitatif tentang dampak dari perubahan iklim telah dilaksanakan di Kepulauan Mediteranian oleh Nicholls & Hoozeman (1996) dan Perry (2000), Kepulauan Karibian oleh Gable (1997), Wilayah Wetland di Kanada oleh Wall (1990), Jerman oleh Krupp (1997) dan Lohmann (2001). Penelitian ini dilaksanakan dalam berbagai topik dan metode.

Viner dan Agnew juga melakukan penelitian pengaruh dari perubahan iklim terhadap beberapa daerah tujuan wisata yang dikunjungi oleh wisatawan Inggris. Contoh sampel daerah tujuan wisata yang dipilih berdasarkan perbedaan iklim, lingkungan dan kondisi sosial masyarakat di daerah tujuan wisata untuk dapat menggambarkan bagaimana dampak perubahan iklim di berbagai tempat yang memiliki kondisi yang berbeda. Adapun daerah tujuan wisata yang dijadikan obyek penelitian adalah (1) Maldives ( ekosistem pantai dan terumbu karang), (2) Pegunungan Alpen, (3) Mediteranian Timur (Yunani dan Turki), (4) Spanyol Selatan, (5) Ski Resort di Scotlandia, (6) Afrika Timur dan Selatan (Taman Nasional Danau Manyara di Tanzania, Masai Mara Game Reserve di Kenya), (7) Danau Zurich, (8) Australia (The Great Barrier Reef ), (9) Florida dan SE Coastline, (10) Brazilia (Hutan Amazone)

Berdasarkan hasil penelitiannya, Viner dan Agnew (1999) menjelaskan bahwa dapat dikenali dua tipe dampak dari perubahan iklim yaitu dampak langsung dan dampak tidak langsung, dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut

  1. Dampak langsung

Perubahan iklim berpengaruh secara langsung pada proses pembuatan keputusan wisatawan dalam memilih daerah tujuan wisata. Adapun pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah kapan kita pergi untuk berlibur dan dimana tempat untuk berlibur. Cuaca dan iklim berpengaruh pada dua sisi sistem pariwisata yaitu pada daerah tujuan wisata dan sumber asal wisatawan.

  1. Dampak Tidak Langsung

Perubahan iklim memberikan dampak pada perubahan ekosistem di daerah tujuan wisata. Kenaikan tingkat permukaan air laut akan mengakibatkan abrasi pantai dan akan mengancam obyek wisata pantai dan aktivitas wisata di pesisir pantai serta rusaknya terumbu karang yang dijumpai di Great Barrier Reef Australia. Penurunan jumlah lapisan salju telah mengakibatkan rendahnya daerah untuk aktivitas wisata ski di Garmisch Partenkirchen di Jerman. Selain itu juga adanya peningkatan konsentrasi polutan sangat membahayakan dan mengancam aktivitas wisata di kota seperti yang terjadi di Athena dan Los Angeles

Selain penelitian yang bersifat kualitatif untuk mengetahui bagaimana perubahan iklim terhadap daerah tujuan wisata , juga telah dilakukan penelitian yang bersifat kuantitatif baik dari supplay side maupun demand side. Adapun topik-topik yang dikaji adalah changes to supply of tourism services oleh Abegg (1996), travel cost models of demand oleh Maddison (2001) dan Lise & Tol (2002) dengan mempergunakan “Polled Travel Cost Model”, serta time serie of tourism and weather data oleh Agnew dan Palutikof pada tahun 2001 (Hamilton & dkk, 2007).

Lars Hein, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Iklim Internasional dan Lingkungan Norwegia telah melaksanakan penelitian dampak perubahan iklim terhadap pariwisata di Spanyol. Dalam penelitian ini Lars Hein menganalisis bagaimana kesesuaian iklim di Spanyol akan mempengaruhi pariwisata yang dijelaskan dengan TCI (Tourism Climate Indeks), dan bagaimana dampaknya terhadap jumlah kunjungan ke Spanyol. Menurut Hein (2007), model menunjukkan bahwa perubahan iklim (seperti yang diprediksi dengan model Hadley di bawah skenario IPCC SRES A1) akan menyebabkan penurunan total kunjungan ke Spanyol sebesar 20% pada tahun 2080 dibandingkan dengan 2004. Dampak semakin meningkatnya temperatur udara pada saat musim panas akan membuat wisatawan merasa tidak menyenangkan, sedangkan dalam musim semi dan musim gugur, akan terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan.

Secara umum, pemanasan global akan mengakibatkan kerusakan lingkungan pada beberapa destinasi wisata yang mempunyai dampak besar bagi penurunan kualitas destinasi tersebut. Selain itu, perubahan iklim tentu saja sangat mempengaruhi adanya perubahan secara geografik pada destinasi wisata.

Wisatawan semakin sadar akan isu pemanasan global, dan akan mengubah pilihannya, hanya akan mengunjungi destinasi yang bebas polusi dan peduli isu pemanasan global. Hal ini mengindikasikan akan terjadinya perubahan pola perjalanan wisatawan dalam pembuatan keputusan untuk memilih tujuan wisata dengan memperhatikan faktor iklim dan lingkungan.

E. DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP PARIWISATA DI BALI.

Bagi Bali, peranan pariwisata dalam pembangunan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumberdaya alam seperti migas, hasil hutan ataupun industri manufacturing yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan. Sejak awal Bali mengembangkan pariwisata dengan payung ‘pariwisata budaya, walaupun demikian, produk-produk wisata alam sangat digemari wisatawan karena pulau Bali memiliki sumberdaya alam yang mendukung untuk dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata. Wilayah pesisir dan laut pulau Bali, dengan garis pantai sepanjang 585 Km dan perairan laut 9.500 Km2 terdapat beberapa kawasan pariwisata yang telah dan sedang berkembang. Hamparan pantai yang indah dengan perairannya yang bersih menjadi pilihan utama bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Ditunjang oleh aksesibilitasnya yang tinggi, wilayah pesisir pulau Bali juga merupakan pusat-pusat pengembangan hotel dan resort.

Dengan melihat karakteristik pengembangan pariwisata di Bali, dampak dari pemanasan global sangat perlu diwaspadai. Mengutip pemberitaan Bali Post tanggal 16 Agustus 2007, bahwa saat ini terdapat 140 titik abrasi dari 450 bentangan garis pantai. Peningkatan permukaan air laut dapat mengancam keberadaan obyek dan daya tarik wisata di wilayah pesisir dan laut Bali yang menawarkan sea, sun, and sand. Wilayah yang terancam tenggelam berada di bagian pinggir Bali seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, Tanjung Benoa, Tanah Lot, Candi Dasa, Tulamben, Nusa lembongan, Lovina, dan seterusnya. Daerah-daerah ini merupakan pusat aktivitas wisatawan di Bali untuk menikmati wisata bahari seperti sun bathing, surfing, watersports, snorkling, diving, sailing & boating holiday dan cruises. Selain aktivitas wisatawan, usaha jasa akomodasi yang terletak di pinggir pantai di Bali juga terancam oleh peningkatan permukaan air laut dan abrasi pantai. Adanya intrusi air laut akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan industri perhotelan di Bali khususnya dalam penyediaan air bersih. Kondisi ini akan mengakibatkan penurunan kualitas obyek dan daya tari wisata di Bali.

Hamparan ekosistem terumbu karang hampir terdapat di wilayah pesisir Bali. Ekosistem terumbu karang berperan melindungi pantai, menopang keragaman hayati lautan, mengandung sumber daya hati, serta mempunyai nilai estetika tinggi yang menunjang pariwisata di Bali (Restu, 2006). Lokasi penyelaman internasional (spot diving) seperti Pulau Menjangan, Sumberkima, Kawasan Lovina, Tulamben, Padang Bai, Candi Dasa, Nusa Penida dan Bali selatan merupakan obyek atraksi wisata bawah laut yang potensial. Menurut Goreau (2005), Coral reefs are the most sensitive of all ecosystems to global warming, pollution, and new diseases. They will be first to go as a result of climate change.

Peningkatan suhu air laut akibat pemanasan global menyebabkan terjadi peningkatan asam laut sehingga terumbu karang akan mengalami “coral bleaching” (pemutihan terumbu karang). Fenomena ini sudah terjadi di perairan Pulau Menjangan dan Taman Nasional Bali Barat seperti yang dijelaskan oleh Iwan Dewantama dari WWF Bali Barat (www.rumahtulisan.com). Kenaikan suhu air laut ini dapat mengancam keberadaan ekosistem terumbu karang lainnya di wilayah perairan Bali.

Selain mengancam ekosistem pantai, pemanasan global juga mengancam ekosistem sungai dan danau yang banyak digunakan untuk aktivitas wisata (outdoor recreational) seperti aktivitas rafting di sungai Ayung & Sungai Telaga Waja, watersport di Danau Beratan. Adanya peningkatan suhu udara dan penguapan yang tinggi dapat mengurangi ketinggian dan debit air sungai dan danau sehingga dapat menggangu operasional usaha-usaha wisata di daerah tersebut.

Adanya perubahan musim yang ekstrim sebagai akibat pemanasan global juga dirasakan di Bali. Saat ini sangat sulit diprediksi periode musim kemarau dan musim hujan yang dapat mempengaruhi aktivitas wisatawan dalam berlibur di Bali. Kondisi ini menyebabkan wisatawan harus mengubah rencana perjalanan (itinerary) yang sudah disusun sebelumnya.

Mengutip pernyataan Direktur Umum WHO, Dr. Margaret Chan (2008), changing temperatures and patterns of rainfall are expected to alter the geographical distribution of insect vectors that spread infectious diseases. Of these diseases, malaria and dengue are of greatest public health concern. Apabila wabah malaria dan demam berdarah berkembang di Bali, kondisi ini sangat membahayakan bagi Bali sebagai daerah tujuan wisata internasional.

F. KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG PEMANASAN GLOBAL

Efek buruk dari pemanasan global bukan saja menimbulkan keresahan diantara ilmuwan, tetapi pejabat pemerintah di berbagai negara juga terdorong untuk melakukan tindakan pencegahan agar pemanasan global ini dampaknya tidak lebih buruk dan meluas seperti yang diprediksikan oleh para ilmuwan. Salah satunya pertemuan ini dimulai pada bulan Juni 1992, di Rio de Janeiro dalam KTT Bumi atau Earth Summit yang dilakukan oleh United Nations Conference on Environment and Development. Konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan terutama hukum yang mengikat seperti konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi kerangka PBB tentang perubahan iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCC). UNFCC memiliki tujuan utama berupa menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.

Pada saat Conference of Parties (CoP) UNFCC ke-3 pada tanggal 1 – 10 Desember 1997, melahirkan Protokol Kyoto (Kyoto Protocol to United Nations Framework Convention on Climate Change). Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global.

Menurut Wikipedia, "Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."

Ada tiga mekanisme yang diatur dalam Protokol Tokyo yaitu berupa (1) Joint Implementation atau implementasi bersama sebagai mekanisme penurunan emisis gas rumah kaca yang dapat dilakukan antar Negara maju, (2) Clean Develompement Mechanism sebagai mekanisme penurunan emisi gas rumah kaca yang dapat dilakukan antara Negara maju dengan Negara berkembang, dan (3) Emission Trading atau perdagangan emisi adalah mekanisme perdagangan emisi antarnegara maju di Annex I.

Sektor pariwisata memiliki tempat yang penting dalam Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim, seperti yang kita ketahui bahwa begitu kuatnya hubungan pariwisata dengan iklim. Hal ini ditindaklanjuti oleh UN World Tourism Organization (UNWTO), bekerjasama dengan United Nations Environment Progrrame (UNEP), World Meteorological Organization (WMO), World Economic Forum dan Pemerintah Swiss menyelenggarakan Konferensi International II tentang Perubahan Iklim dan Pariwisata di Davos pada tanggal 1 – 3 Oktober 2007 yang melahirkan Deklarasi Davos. Dalam Deklarasi ini menyetujui bahwa sektor pariwisata harus secara cepat merespon perubahan iklim dengan mengurangi kontibusi dari emisi Gas Rumah Kaca dengan melakukan tindakan berupa adaptasi dan mitigasi.

H. ADAPTASI SEKTOR PARIWISATA TERHADAP PEMANASAN GLOBAL

Adaptasi adalah upaya menyesuaikan berbagai kegiatan terhadap perubahan iklim. Upaya ini bertujuan untuk meminimalisasi dampak yang telah terjadi, mengantisipasi resiko, sekaligus mengurangi biaya yang harus dikeluarkan akibat perubahan iklim. Adaptasi lebih diarahkan pada pengurangan efek negatif dari pemanasan global seperti bagaimana mengantisipasi kenaikan air laut, efek perubahan iklim terhadap pariwisata, atau penyebaran penyakit menular akibat pemanasan global ini. Adaptasi ini diarahkan untuk pembangunan yang berkelanjutan terhadap masyarakat yang paling rentan terkena efek pemanasan global.

Usaha mengurangi gas rumah kaca sebaik apapun tidak akan mampu menghindarkan kita sepenuhnya dari dampak perubahan iklim, sehingga diperlukan usaha-usaha adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Beberapa tindakan adaptasi sudah mulai dilakukan, namun masih sangat terbatas. Contoh-contoh adaptasi yang ditemui adalah pembuatan infrastuktur untuk melindungi pantai di Maldives dan Belanda, serta dibuatnya kebijakan dan strategi manajemen air di Australia.

Bali sebagai daerah tujuan wisata pulau sangat rentan sekali dengan dampak langsung dan tidak langsung dari perubahan iklim seperti gelombang pasang, iklim yang ekstrim, abrasi pantai, kenaikan permukaan air laut, banjir, dan intrusi air laut. Wisata pantai merupakan produk wisata yang mendominasi pulau Bali. Proses adaptasi pada bidang pariwisata harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan melakukan kebijakan-kebijakan untuk mengantisipasi perubahan iklim. Adapun strategi-strategi adaptasi yang dapat dilakukan adalah

· Mengevaluasi renstra pariwisata Bali dengan memasukkan strategi adaptasi perubahan iklim

· Memasukkan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pengunaan lahan serta pembangunan infrastruktur di pesisir pantai Bali seperti pembangunan hotel dengan menerapkan zonasi.

· Mengadaptasikan pembangunan fasilitas-fasilitas wisata agar menghindari daerah pesisir.

· Memasukkan cara-cara untuk menekan kerentanan terhadap perubahan iklim ke dalam strategi penanggulangan bencana.

· Melakukan penyiapan sumber daya manusia untuk meningkatkan pengetahuan tentang pemanasan global serta memantau dampak perubahan iklim terhadap sumber daya pesisir.

· Memasukan adaptasi perubahan iklim dalam manajemen atraksi wisata pantai.

· Melakukan koordinasi dengan semua pihak termasuk pengumpulan data-data yang berkaitan dengan perubahan iklim.

· Memasukkan faktor perubahan iklim dalam kerangka kerja Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam perencanaan pembangunan pariwisata.

· Melindungi pesisir dari abrasi pantai dengan penanaman pohon manggrove dan melindungi terumbu karang.

· Menyusun kebijakan pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) yang sudah mengantisipasi ke arah perubahan iklim

· Melakukan diversifikasi produk wisata Bali yang kurang tergantung pada iklim seperti ekowisata, wisata spiritual, wisata kesehatan sehingga Bali sebagai daerah tujuan wisata memiliki beragam produk yang dapat ditawarkan kepada wisatawan.

Kegiatan-kegiatan adaptasi dapat dilakukan dengan melibatkan semua asosiasi pariwisata (PHRI, ASITA, HPI, PUTERI, GAHAWISRI), pihak industri pariwisata, Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat lokal secara perseorangan atau kelembagaan dengan berbagai mekanisme.

I. UPAYA MITIGASI PARIWISATA TERHADAP PEMANASAN GLOBAL

Sektor pariwisata tidak saja berpontensi sebagai korban dari pemanasan global. Sektor pariwisata juga berkontribusi sebagai penyebab dalam pemanasan global di dunia. Usaha transportasi seperti penerbangan merupakan sumber dari emisi Gas Rumah Kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global. Selain itu penggunaan energi, persediaan air bagi akomodasi dan fasilitas wisata lainnya memberikan kontribusi bagi pemanasan global. Oleh karena itu sektor industri pariwisata harus berusaha melakukan tindakan nyata untuk melakukan upaya mitigasi untuk mengantisipasi dampak pemanasan global

Mitigasi adalah usaha-usaha untuk mengurangi dan membatasi emisi Gas Rumah Kaca dan memperlambat laju pemanasan global. Mitigasi dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan energi, meningkatkan penggunaan energi yang dapat diperbaharui, manajemen dan perencanaan pariwisata berkelanjutan, serta perubahan paktek bisnis dalam bidang pariwisata. Upaya-upaya ini dapat dilakukan oleh industri tansportasi, akomodasi dan tur operator/biro perjalanan wisata.

Perusahaan penerbangan harus mulai melakukan upaya mitigasi dengan dengan mengganti tipe pesawat dengan teknologi terbaru yang dapat mengurangi Gas Rumah Kaca sampai 20 - 30% seperti A380 atau B787 serta kebijakan perusahaan lainnya yang mendukung program lingkungan. Usaha jasa angkutan wisatapun harus berbenah dengan melakukan penggantian mobil yang sudah berumur tua dan mempromosikan penggunaan mobil dengan rendah emisi. Usaha jasa angkutan wisata harus melakukan perawatan mesin-mesin kendaraan karena mesin yang kurang perawatan menyebabkan sistem pembakarannya kurang sempurna sehingga menghasilkan polusi udara lebih banyak.

Industri pariwisata khususnya hotel sudah mulai mempraktekkan usaha-usaha melestarikan lingkungan dalam bisnis akomodasi. Dengan adanya GTBS, Green Globe 21, Tri Hita Karana Award membuat industri pariwisata memiliki komitmen di dalam menjaga dan memperhatikan kualitas lingkungan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh sektor akomodasi untuk mengurangi Gas Rumah Kaca adalah meminimumkan penggunaan energi, mengunakan energi yang dapat diperbaharui seperti menggunakan tenaga surya (solar sell) atau tenaga angin, serta memiliki sistem manajemen lingkungan yang baik. Menurut Wiranatha (2007), usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk meminimumkan konsumsi energi di hotel adalah

a. Adopsi disain gedung yang hemat energi, meliputi :

- Menggunakan sistem sirkulasi udara yang tepat

- Menggunakan sistem pencahayaan yang manfaatkan sinar alami secara maksimum

- Memanfaatkan teknik dan bahan bangunan yang dapat membantu aliran udara untuk menciptakan kesejukan.

b. Pencahayaan, AC dan air panas meliputi :

- Mengontrol pemakaian pencahayaan buatan yang berlebihan

- Menggunakan warna cat yang dapat mengurangi pemakaian lampu

- Menggunakan lampu yang hemat energi

- Meminimumkan penggunaan lampu eksterior

- Menggunakan sistem kontrol terpusat untuk setiap unit akomodasi (menggunakan kartu atau saklar), dan menginformasikan kepada tamu tentang kebijakan hemat energi

- Mematikan kulkas bila kamar tidak digunakan

- Melakukan optimasi suhu di ruangan umum (common spaces) dalam selang yang masih dapat memberikan kenyamanan agar dapat hemat energi

- Mematikan AC bila kamar/ruangan tidak digunakan

- Menghindari penggunaan air panas yang berlebihan oleh tamu dengan memberikan informasi tentang kebijakan hemat energi.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh hotel untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, harus diikuti oleh pemahaman pegawai dan bagaimana caranya untuk mendidik wisatawan peduli terhadap lingkungan. Saat ini sudah mulai ada perubahan pola pilihan wisatawan, untuk memilih akomodasi yang peduli terhadap lingkungan. Dengan demikian upaya mitigasi di semua sektor pariwisata diharapkan dapat mengurangi laju pemanasan global.

H. SIMPULAN

Iklim yang nyaman dan daya tarik alam yang indah merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi daya tarik wisata suatu daerah tujuan wisata. Pariwisata merupakan sektor yang memiliki hubungan yang dekat sekali dengan lingkungan dan iklim dan peka terhadap isu perubahan iklim.

Sektor pariwisata juga berkontribusi sebagai penyebab dalam pemanasan global di dunia yang disebabkan oleh penggunaan energi dari sektor transportasi, akomodasi dan fasilitas wisata lainnya. Pemanasan global akan mengakibatkan kerusakan lingkungan pada beberapa destinasi wisata yang mempunyai dampak besar bagi penurunan kualitas destinasi tersebut. Selain itu, perubahan iklim tentu saja sangat mempengaruhi perubahan tingkah laku wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata.

Sektor pariwisata harus secara cepat merespon perubahan iklim dengan mengurangi kontibusi dari emisi Gas Rumah Kaca dengan melakukan tindakan berupa adaptasi dan mitigasi yang dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah, stakeholder pariwisata, industri pariwisata dan masyarakat lokal baik secara individual atau kelembagaan