Pendahuluan
Pariwisata terkait erat dengan berbagai penyakit sosial seperti pelacuran, kriminal, dan penyalahgunaan narkoba sebagai dampak negatif pariwisata. Mengenai keterkaitan kegiatan seks dengan pariwisata, Hall (1992, dalam Pitana & Gayatri, 2005) menyebutkan bahwa seks atau prostitusi merupakan bagian integral dari pariwisata. Adalah suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa pemenuhan kebutuhan seksual merupakan salah satu motivasi orang melakukan perjalanan wisata. Di dalam usaha mendapatkan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya, pelaku pariwisata di daerah tujuan wisata berusaha memenuhi motivasi ini, dan proses pemenuhan kebutuhan wisatawan ini pada akhirnya menyebabkan prostitusi kini menjadi industri multinasional.
Aktivitas pariwisata mempunyai potensi untuk terjadinya eksploitasi terhadap anak-anak di bawah umur baik oleh pelanggar pedofilia dan dalam bentuk prostitusi. Child sex tourism dan prostitusi anak merupakan tindakan kekerasan dan melanggar hak asasi manusia dan tidak ada alasan untuk melakukan ini kapanpun dan dimanapun. Semua anak, kaya atau miskin, berhak mendapatkan perlindungan dari segala macam bentuk kekerasan maupun eksploitasi seks oleh wisatawan. Oleh karena itu sudah seharusnya ditindaklanjuti pencegahan dan pemberantasannya oleh semua pihak dengan memberdayakan semua komponen pariwisata dan masyarakat.
Tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan tentang pentingnya hak asasi anak dalam dunia pariwisata, serta peran industri jasa pariwisata dan masyarakat dalam mencegah child sex tourism?
Dampak Sosial Budaya Pariwisata
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat. Penelitian tentang dampak sosial budaya pariwisata biasanya dilakukan dalam tiga kategori yaitu wisatawan, penduduk lokal dan hubungan antara wisatawan dengan penduduk lokal. Penelitian yang dilakukan oleh Fox (1977) dalam Mathieson & Wall (1986) bahwa pariwisata berkontribusi dalam perubahan sistem nilai, tingkah laku individu, hubungan antar keluarga, upacara-upacara tradisional, ekspresi kreativitas serta organisasi kemasyarakatan. Pernyataan yang sangat sederhana diungkapkan oleh Wolf (1973) bahwa dampak sosial budaya merupakan dampak pada manusianya, bahwa pariwisata berdampak pada manusia dalam komunitas masyarakat lokal baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan dengan wisatawan (Mathieson&Wall , 1986)
Menurut Sirtha (2005), bahwa pengaruh langsung wisatawan mancanegara terhadap masyarakat berdampak pada perubahan perilaku masyarakat setempat. Perilaku positif wisatawan mancanegara antara lain mendambakan kebersihan, keamanan, kenyamanan, ketertiban, keramahtamahan, keindahan dan kesejukan. Pengaruh negatif wisatawan antara lain kebiasaan minum, mabuk-mabukan, merokok, narkoba dan sex bebas. Sedangkan Fletcher (2007) menyebutkan bahwa dampak sosial budaya pariwisata yang spesifik adalah sex, kriminalitas dan masalah kesehatan.
Child Sex Tourism
Child Sex Tourism adalah sebuah bentuk eksploitasi seksual terhadap anak-anak di bawah umur (Commercial Sexual Expoitation of Children/CSEC). Termasuk di dalamnya prostitusi, pornografi, dan pelanggaran serta perdagangan anak. Menurut ECPAT (2003), Child Sex Tourism adalah perbuatan melanggar hukum di hampir semua negara, yang dibagi atas dua kategori yaitu
(1). Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dalam bentuk prostitusi. Anak-anak dibawah umur diperdagangkan di bar dan di rumah bordil. Jenis orang yang membeli di rumah bordil disebut pelanggar “oportunis/situasional”. Mungkin di negara sendiri mereka tidak pernah mengunjungi rumah bordil, namun sebagai wisatawan mereka seolah-olah tidak peduli. Selain itu juga mereka dalam suasana berlibur atau karena takut terjangkit penyakit HIV/AIDS karena beranggapan bahwa pelacur anak-anak kecil kemungkinan terinfeksi.
(2). Kategori yang kedua adalah adalah pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur oleh pelanggar pedofilia. Pedofilia merupakan pilihan aktivitas seksual yang ditujukan kepada prapubertas atau awal pubertas. Aktivitas seksual yang dimaksud dapat berupa fantasi, keinginan ataupun perilaku seksual yang terjadi oleh karena penderitaan atau penghinaan dari seseorang atau pasangan hidupnya, dapat pula oleh karena kegagalan dalam masyarakat, pekerjaan atau fungsi-fungsi penting lainnya (Basudewa, 2001). Berdasarkan PPDGJ II, pedofilia didefinisikan sebagai preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prepubertas atau awal pubertas, baik laki-laki maupun perempuan. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap. Termasuk juga dalam golongan ini, laki-laki dewasa, tetapi karena mengalami frustasi yang kronis untuk mencapai hubungan seksual yang diharapkan maka kebiasaannya beralih kepada anak-anak sebagai penggantinya. (Maslim, 2003).
Teori Interaksi Sosial
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto , 2003). Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor, antara lain faktor imitasi, faktor sugesti, identifikasi dan faktor simpati. Lebih lanjut dijelaskan, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Suatu kontak sosial dapat bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, sebaliknya kontak yang sekunder memerlukan suatu perantara.
Interaksi Antara Wisatawan dengan Masyarakat Lokal
Sebagai wisatawan, tidaklah mungkin untuk tidak berhubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain yang dimaksud adalah hubungan dengan sesama wisatawan ataupun hubungan dengan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata atau juga kedua-duanya, yaitu dengan wisatawan dan sekaligus dengan masyarakat lokal di daerah tujuan wisata (Sharply, 1994).
Winaya (2005) menjelaskan bahwa hubungan antara wisatawan dengan masyarakat lokal sesungguhnya tidak terbatas pada hal-hal tertentu saja. Motivasi wisatawan melakukan perjalanan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dengan tingkah laku dan harapan yang berbeda-beda serta mereka dari latar belakang sosio budaya yang sangat beragam.
Hak Asasi Anak-anak dan Pariwisata
Deklarasi mengenai hak asasi (The Universal Declaration of Human Right) diadopsi oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah bahwa sebuah dokumen dianggap memiliki nilai yang berlaku secara universal dan diadopsi oleh sebuah lembaga internasional sebagai akibat keinginan bersama akan adanya perdamaian setelah perang dunia II. Hal ini juga pertama kalinya hak asasi dan masalah kebebasan yang sangat fundamental dijabarkan secara terperinci.
Anak-anak berhak atas haknya yang dijamin melalui deklarasi mengenai hak asasi manusia tetapi mereka juga membutuhkan perlindungan dan perhatian khusus. Menurut UN CRC pasal 1, semua orang di bawah umur 18 tahun adalah anak-anak, kecuali jika negara membuat peraturan tersendiri. Konvensi PBB tentang hak asasi anak (United Nations Convention on the Rights of the Child) diterima secara universal sebagai perjanjian yang berisi tentang hak asasi anak yang disetujui oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1989 dan ditandatangani oleh 198 negara. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk diskriminasi, penelantaran dan kekerasan. Beberapa pasal dalam konvensi yang terdiri dari 54 pasal ini memberi penekanan tentang ekspoitasi anak dan konsekwensinya. Hal ini menunjukkan bahwa negara yang ikut meratifikasi konvensi tersebut harus mengambil tindakan yang sesuai untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik dan mental (pasal 19), dari pemaksaan anak agar melakukan kegiatan seks; eksploitasi anak melakukan kegiatan prostitusi dan segala bentuk kegiatan yang melanggar hukum; dari kegiatan yang menggunakan anak-anak sebagai pertunjukkan atau gambar-gambar pornografi (pasal 34) dan dari kegiatan penculikan, perdagangan, pelanggaran terhadap anak untuk tujuan apapun (pasal 35).
Pada bulan Mei 2000, sidang Umum PBB mengadopsi peraturan tambahan untuk menambah tindakan pencegahan yang bernama ”The Optional Protocol to the Convention on the Right of the Child on the Sale of Children (Trafficking), Child Prostitusion and Child Pornography”. Tambahan ini menjadi acuan untuk menangani secara spesifik usaha pencegahan, perlindungan terhadap korban dan serta memberikan kerangka bekerja untuk kerjasama Internasional untuk menjerat pelanggar secara hukum.
The Stocklom Declaration and Agenda for Action menjelaskan bahwa komersialisasi anak-anak untuk eksploitasi seks merupakan pelanggaran hak asasi anak yang paling fundamental. Termasuk kekerasan seks oleh orang dewasa dan pemberian uang atau ungkapan dalam bentuk lain kepada anak atau pihak ketiga. Tindakan komersial yang mengeksploitasi anak-anak merupakan bentuk lain dari pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan tindakan kerja paksa serta bentuk lain dari perbudakan. Dalam agenda ini terdapat indikasi untuk memberdayakan industri pariwisata agar menggunakan jaringannya untuk mencegah ekspoitasi dan perdagangan anak, beserta pembangunan, penguatan dan implementasi dari “extra territorial laws” untuk yang terlibat dalam kejahatan seksual di daerah tujuan wisata.
Organisasi Pariwisata Dunia, WTO menyetujui kode etik global untuk pariwisata (Global Code of Ethics for Tourism) pada bulan Oktober 1999, yang memuat prinsip-prinsip dalam pengembangan kepariwisataan, dan sebagai acuan bagi berbagai stakeholder pariwisata denga tujuan untuk meminimalis dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan dan peninggalan budaya dan memaksimalkan peningkatan dalam pengembangan yang berkelanjutan dengan pengentasan kemiskinan dan menciptakan kerukunan antar masyarakat. Dalam pasal 2 point 3 disebutkan “Ekspoitasi kemanusiaan dalam segala bentuknya, khususnya sex, terutama yang berkaitan dengan anak-anak, adalah bertentangan dengan tujuan dasar kepariwisataan dan pengingkaran terhadap tujuan mulia kepariwisataan ; dalam hubungan ini, sesuai dengan peraturan internasional harus dilarang sekeras-kerasnya dengan kerjasama dari Negara—negara yang bersangkutan dan dikenai sanksi yang seberat-beratnya oleh baik Negara yang dikunjungi maupun oleh Negara asal pelaku dari pelanggaran tersebut, walaupun itu dilakukan di luar negerinya.
Sektor pariwisata dapat memberikan kontribusi di dalam mempromosikan hak asasi manusia melalui penciptaan peluang untuk memahami nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kedamaian dalam kehidupan. Di lain pihak pariwisata dalam bentuk yang mengeksploitasi laki-laki, perempuan dan anak-anak adalah bentuk pelanggaran terhadap hak asasi.
Peran Industri Pariwisata untuk Mencegah Child Sex Tourism
Kongres Dunia I tahun 1996 tentang komersialisasi dan eksploitasi seks anak diwakili oleh Organisasi Pariwisata Dunia (WTO), IATA, IH&RA, UFTAA menghasilkan komitmen untuk mendukung dan melakukan perjanjian menghapuskan Child Sex Tourism. Industri pariwisata sangat berkepentingan untuk terlibat dalam kampanye anti Child Sex Tourism. Biasanya pemandu wisata, staf front office, housekeeping, staf keamanan, pengemudi adalah ujung tombak pariwisata yang biasanya didekati oleh pelanggar seks yang mencari anak-anak untuk kegiatan seksnya.
Kebanyakan asosiasi pariwisata internasional sudah memiliki panduan dalam melakukan pencegahan terhadap child sex tourism diantaranya disajikan pada Tabel 1 di bawah ini :
Tabel 1
Panduan dan Deklarasi Asosiasi Industri Pariwisata International Untuk Mencegah Child Sex Tourism
Sumber : http://www.ecpat.org
Masing-masing industri pariwisata dapat mengacu pada panduan deklarasi yang telah disepakati dalam melaksanakan upaya-upaya pencegahan terhadap tindak kriminal di daerah tujuan wisata yang dilakukan oleh wisatawan.
ECPAT (End Child Prostitution in Asian Tourism) dan organisasi internasional lainnya memiliki gagasan untuk meningkatkan kesadaran dan melakukan pencegahan terhadap Child Sex Tourism. ECPAT yang memiliki jaringan di seluruh dunia telah menghasilkan selebaran, poster, dompet tiket, sticker untuk jendela, label bagasi dan paket pelatihan bagaimana mendidik wisatawan untuk menghindari kekerasan dan pelecehan seks terhadap anak-anak.
Selain dilakukan oleh industri pariwisata yang terlibat langsung dengan wisatawan, perlu adanya kerjasama Internasional, Regional dan Bilateral antar Negara untuk memerangi Child Sex Tourism. Salah satunya adalah kerjasama internasional antara polisi (Interpol) yang mengatur penegakan hukum termasuk penyelidikan Child Sex Tourism, pelanggaran dan perdagangan terhadap anak-anak, pornografi anak.
Pemerintah Daerah Bali bekerjasama dengan Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, pihak kepolisian, LSM perlu mensosialisasikan upaya-upaya pencegahan pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh wisatawan khususnya pada beberapa wilayah yang menjadi sasaran para pengidap pedofilia. Kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan anak-anak untuk berhati-hati dalam berinteraksi dengan wisatawan apabila menerima tawaran-tawaran yang sifatnya mengikat. Selain itu juga penduduk lokal agar selalu tanggap apabila ada wisatawan yang berkunjung ke desa untuk mengajak anak-anaknya diasuh dan berniat untuk menjadikan anak angkat. Oleh karena itu perlu adanya dukungan semua pihak secara sistematik dan holistik untuk mencegah Child Sex Tourism yang sangat membahayakan keberlanjutan generasi muda
Simpulan
Bahwa masalah eksploitasi seksual terhadap anak-anak adalah bertentangan dengan tujuan dasar kepariwisataan dan pengingkaran terhadap tujuan mulia kepariwisataan, sehingga hak asasi anak ini perlu diperhatikan dan dilindungi.
Pemerintah, komponen industri pariwisata, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat harus melakukan upaya dan tindakan-tindakan nyata untuk mencegah terjadinya Child Sex Tourism secara bersama-sama, sistematik dan holistik kepada anak-anak secara berkesinambungan.